Kisah ini tentang seorang di Jatim. Dalam sebuah sesi halqoh (pengajian), musyrifnya (gurunya) berkata, "Seseorang yang memakan riba itu sama saja tidur dengan (maaf) pelacur".
Sebuah penjelasan yang menggelegar, bak petir di siang bolong. Rumah yang ditinggalinya, juga 3 mobil yang dimilikinya, adalah hasil kredit di bank. Lalu, tiap malam tidur di rumah, dan setiap saat menaiki mobilnya, sama dengan meniduri (maaf lagi) pelacur? Astaghfirullah..
Setelah berpikir beberapa waktu, terutama setelah meyakinkan istrinya, syabab ini kemudian menemui musyrifnya, menyampaikan akad kredit ribawi yang terlanjur diambilnya. "Pak Ustadz, cara menghentikan transaksi ribawi ini adalah dengan menjual rumah saya, dan uang hasil penjualan itu cukup untuk melunasi kredit 3 mobil".
Pak musyrif pun sibuk ikut menawar-nawarkan rumah tersebut. Tapi, seminggu berselang, rumah itu belum laku juga. "Afwan, Akhi, saya belum mendapatkan pembeli", kata musyrif.
Si syabab menjawab, "Tidak usah, Ustadz. Tidak jadi dijual".
"Lho, gimana sih? Katanya mau dijual agar terbebas dari riba?"
"Alhamdulillah, Ustadz, sudah laku. Dibeli kakak ipar yang di Jakarta", jawab syabab sumringah
Awalnya, syabab ini harus menjelaskan lebih dulu ke mertua rencana menjual rumah, sebab dulu DP pembelian rumah ini dibantu mertua. Mertua tentu keberatan. Tapi setelah dijelaskan besarnya dosa riba, mertua luluh juga mengijinkannya. Lalu, mertua inisiatif menawarkan pada anaknya yang tertua.
"Berapa harga rumahmu?", kata si sulung.
"Rp 160 juta".
"Nggak kurang?".
"Ya di sini pasarannya segitu".
"Sini saya beli Rp 190 juta. Yang Rp 30 juta bisa dipakai modal. Dan, nggak usah ngontrak, tetap tinggal saja di rumah itu".
Subhanallah. Begitu mudahnya Allah melimpahkan rejeki kepada hamba-Nya yang bertekad membersihkan hartanya dari riba.
Syabab itu sekarang bisa tidur dengan lebih nyenyak. Rumah yang ditinggalinya sudah bersih dari riba. Satu mobil yang dipakainya kini bisa memberikan ketenangan keluarga. Dua mobil yang direntalkan juga mengalirkan rejeki yang penuh berkah. Semuanya bermula dari tekad kuat membebaskan diri dari riba.
HTI memang mengharuskan syababnya meninggalkan keharaman. Dan itu wajar saja. Sebagai kutlah yang menginginkan penerapan syariah, bukankah syababnya memang harus orang-orang yang taat syariah? Bagaimana mungkin kita menginginkan diterapkannya syariah Allah, sementara pada yang saat yang sama kita bermaksiat pada Allah?
Surabaya, 30 Mei 2014
Posting Komentar